Indecent Proposal : Sebuah Sisi Lain

Semalam, hingga lewat puncak malam, aku masih juga tidak bisa tidur. Kya yang sebelumnya telah lelap sendirian di kamarnya, tiba-tiba bangun dari mimpi buruknya dan bergabung dengan kami di kamar utama. Walah, sempit. Di tambah, sesiangan kemarin tidur karena pengaruh obat flu, malam itu aku benar-benar tidak bisa tidur. Aku memilih keluar kamar dan menyalakan TELKOMVision. Indecent Proposal diputar di HBO Signature malam itu, dan jadilah aku nonton film itu hingga akhir.

Ada pesan romantisme yang diusung film itu dengan pertanyaan besar, bisakah cinta dibeli? Namun, meskipun menarik untuk dibahas, aku memilih tidak membahasnya sekarang. Aku memilih membahas batu bata. Batu bata? Ya, batu bata yang dibawa David ke ruang kuliahnya tentang arsitektur.

David ~seperti halnya Diana~ yang tidak mau menggunakan uang $1 juta hasil kesepakatan mereka dengan Gage, akhirnya jatuh miskin. Dia memilih mengajar, meskipun sungguh bukan karena faktor ekonomi saja. Arsitek adalah dunianya dan dia ingin berbagi tentang itu. Dalam sebuah kuliah dia membawa batu bata. Batu bata yang benda mati itu dikatakannya menyimpan sejuta impian untuk menjadi sesuatu.

Dalam slide yang dibawakanya, nampaklah bangunan-bangunan besar yang mewarnai jalannya sejarah hingga hari ini (sayang, aku tidak menemukan Borobudur). Ya, jalan sejarah memang sering diwakili oleh bangunan-bangunan megah yang dibangun dengan tataan batu bata.
Aku, dalam beberapa kesempatan acara renungan sering menggunakan tamsil batu bata untuk menampilkan sebuah sinergi yang sempurna.

Jika tiap kita adalah pasir, bata, air, semen, maka seluruh kita adalah mercu suar yang menyinari pelaut di malam gelap di lautan yang pekat.

Ya, jika setiap kita adalah bata, maka seorang arsiteklah, seorang tukang batulah, yang mampu menjadikan kita gedung yang tinggi menjulang. Kokoh dan kuat menghadang badai serta hujan lebat.

Itu, yang kutangkap dari David malam itu, di samping romantisme yang juga indah. Seperti percakapan di ujung film ketika mereka bersatu.

Davik bertanya, “Masih?”

Diana menjawab, “Selalu …”

image : http://www.moviegoods.com/

1 Komentar »

  1. mantap resensi nya abu..! hwaa aku harus belajar niyh, abu mengambil sisi yang berbeda untuk dibahas, biasanya aku kalau nonton film kebawa sama dramanya sehingga lupa dengan pesan-pesannya 😀

RSS feed for comments on this post · TrackBack URI

Tinggalkan komentar