Belajar dari Seorang Tukang Ojek

Ini cerita ketika aku masih bujang dan belum genap satu tahun bergabung dengan TELKOM, tepatnya di KANDATEL Purwakarta, saat itu. Mengapa saat itu? Karena sekarang tidak ada lagi KANDATEL Purwakarta yang sempat membawahi Kabupaten Purwakarta, Subang dan Karawang (Purwasuka). Sejak tahun 1998, KANDATEL Purwakarta dilebur bersama KANCATEL Bekasi (saat itu di bawah KANDATEL Jakarta Timur) menjadi KANDATEL Bekasi. Saat ini KANDATEL Bekasi membawahi KANCATEL Purwakarta dan KANCATEL Karawang. Hmmm, semoga cukup sebagai pengantar.

Malam itu, aku pulang agak larut dari kantor ~maklum masih bujang~, sekitar pukul 23.00. Pulang ke rumah kontrakan (aku ngekos di sebuah keluarga luar biasa), rumah sudah tutup. Aku tidak tega membangunkan keluarga luar biasa itu dan aku memutuskan kembali ke kantor dan tidur di sana.

Tapi, malam memang sudah larut. Menunggu lama, aku tidak juga memperoleh angkot yang seharusnya mengantarkanku kembali ke kantor. Sampai akhirnya, seorang tukang ojek menghampiri saya. Tempat itu bukan pangkalan ojek, artinya tukang ojek itu memang tidak sedang menunggu. Dia ~bisa jadi~ habis mengantar penumpangnya dan kebetulan melihat saya yang lingak-linguk, dengak-denguk, menunggu angkot. Dia ~sangat bisa jadi juga memang~ tengah mencari penumpang, dan menjemput rizqi yang dijanjikan Allah.

Karena malam memang sudah sangat larut, aku memutuskan untuk menerima tawarannya. Tidak seperti biasanya, aku tidak menawar harga, ketika dia bertanya tujuan. Aku hanya menjawab,

“Ke TELKOM yang deket KODIM, A’.”

Sepanjang perjalanan, beberapa fikiran buruk muncul. Harga yang dia minta bisa jadi sangat mahal. Dan itu sudah sangat lumrah dalam kondisi seperti itu. Malam telah larut. Beberapa tukang ojek ~juga pekerja jasa lainnya~ memang seneng memanfaatkan kesempatan semacam ini. Dan kekhawatiranku semakin besar, ketika aku sadar, aku tidak membawa cukup banyak uang.

Aku terhenyak, ketika dia menghentikan motornya, berhenti tepat di gerbang kantor. Aku turun dan bertanya dalam bahasa Sunda,

Sabaraha, A’?”

Teu langkung Aa’.”

“Koq teu langkung. Sabaraha?”

“Lima ratus, A’. Penglaris”

Aku langsung menyerahkan satu lembaran uang lima ratus rupiah dan mengucapkan,

Hatur nuhun, A’.”

Hatur nuhun. Barakallah.” dan dia berlalu begitu saja.

Aku tertegun lama sekali. Lima ratus? Murah sekali. Jarak yang kami tempuh mungkin memang relatif pendek, tidak lebih 3 kilo. Tapi, malam sudah larut. Lima ratus bukan jumlah yang kecil, tapi sangat kecil. Dia bahkan bisa menaikkan ongkos ojek hingga lima ribu rupiah dan itu dianggap wajar untuk malam selarut itu. Tapi, dia memilih tidak memanfaatkan kesempatan itu. Satu hal yang aku sesali adalah aku tidak menambah uang tips untuk tukang ojek itu.

Malam itu, aku belajar banyak dari tukang ojek itu. (pertama) Aku belajar untuk menjemput rizqi Allah. Allah telah berjanji, bahwa setiap yang melata di muka bumi, telah Allah siapkan baginya rizqi. Manusia, sebagai bagian dari yang melata itu, hanya dititahkan untuk ikhtiar dengan menjemputnya. Kita tidak pernah tahu, di mana Allah letakkan rizqi bagi kita, maka kita memang mesti mencarinya, menjemputnya. Kita tidak pernah tahu, bilamana Allah siapkan rizqi bagi kita, maka kita memang mesti mencarinya, bahkan di ujung malam sekalipun.

(kedua) Aku belajar untuk menyiapkan niat hanya beribadah kepada Allah. Apapun yang kita lakukan dengan niat ibadah, dan membantu orang lain adalah salah satu bentuk ibadah, segalanya menjadi indah. Kita tidak merasa perlu menaikkan harga, meski kesempatan memberikan kita peluang untuk itu. Tukang ojek itu ~guru baruku~ hanya meminta secukupnya dari rizqi yang seharusnya mencapai sepuluh kali lipatnya. Dia memilih tidak melakukan itu, hanya mengambil secukupnya saja.

(dan yang ketiga, yang juga sangat luar biasa) Aku belajar tetap berdoa, bersyukur atas rizqi yang kita terima. Tidak peduli sekecil apa yang kita terima. Doa “barakallah” yang dia ucapkan dengan lirih, namun terdengar bagai guntur di telingaku, mengajarkanku untuk berdoa agar apapun yang saya peroleh, sebesar apa itu, sekecil apa itu, diberkahi Allah.

Aku telah belajar banyak hal dari tukang ojek itu. Aku telah sangat paham. Meski kemudian aku demikian takut, aku seringkali lupa untuk itu semua …

—————-
A’ atau Aa’ = Kakak atau Abang
Sabaraha, A’? = Berapa, Bang?
Teu langkung Aa’ = Terserah Abang

11 Komentar »

  1. sim kuring said

    tah… ayeuna kantun ngetang we..
    sa upami akang masihan tips waktos harita, .. kaleureusan heunteu dipasihkeun… sok ayeuna etang.!!.. upami tips tadi dikaluarkeun ayeuna janten sabaraha ??.. tah nu eta wae disedekahkeun..supados niatan nana tiasa kacumponan…

    cag ah…

  2. moumtaza said

    nuhun pisan euy …, punten sareng saha yeuh?

  3. sim kuring said

    sareng sim kuring !!… ti tasik… hehe…

  4. moumtaza said

    ha ha ha, si Dasep toh? kaifa haaluk?

  5. B. utoyo said

    Mas Prio tahu nggak siapa tukang ojek malam itu. Adik angkatnya Ibu Kos. he he he asal aja ya.

  6. B. utoyo said

    Mas Prio tahu nggak siapa tukang ojek itu. saudaranya Ibu kos. he he he asal aja ya.

  7. moumtaza said

    matur nuwun, Mas … sekedar belajar menghitung bola hitam bola putih yang dibeli 🙂

  8. edy said

    subhanallah, syukran akh

  9. maman said

    Pa’contents nya ok! Background blognya kok ireng seh koyok boss CPE ,kuakakakakakakkkkk.

  10. […] benar ini sebuah kisah nyata atau hanya rekaan untuk membangun motivasi berkarya. Dia seperti tukang ojek dalam kisah saya sebelumnya. Dia mengajarkan saya untuk bekerja demi kesejahteraan hidup manusia, […]

  11. abi.. said

    hm,, Menakjubkan!!

RSS feed for comments on this post · TrackBack URI

Tinggalkan Balasan ke maman Batalkan balasan